Risiko anak Balita yang mendenita gizi kurang pada 2 tahun pertama atau awal kehidupannya pertumbuhan otal berkembang maksimal karena dalam masa itu 80% sel-sel otaknya sudah terbentuk. Karena itu walaupun anggaran pendidikan dinaikkan, kalau pada masa Balita anak-anak mengalami pertumbuhan kelak pada waktu sekolah tidak akan menjadi yang cerdas, pertumbuhan fisiknya pendek, produktivitas menurun dan pada masa tuanya akan mudah terserang penyaki-penyakit degeneratif seperti kanker, hipentensi dan lain-lain.
Demikian penjelasan Dr. Rachmi Untoro, MPH Direktur Gizi Masyarakat Ditjen Bina Kesmas Depkes kepada wartawan usai penutupan Seminar Internasional tentang Pertumbuhan Anak dan Kemiskinan di Jakarta tanggal 13 November 2002.
Dr. Rachmi Untoro menambahkan secara anatomis otak berkembang baik pada usia 2 tahun pertama memperoleh asupan gizi secara baik, tetapi jika pada asupan gizinya kurang maka perkembangan otaknya tidak berkembang atau biasa dikenal dengan otak kosong. Untuk memantau tumbuh kembang anak Balita harus dilakukan orang tua dengan membawa anak Balita ke Posyandu terdekat setiap bulan. Selain itu pemantauan juga harus dilakukan oleh kader, tokoh masyarakat dan di era desentralisasi adalah Pemda dan DPRD sangat menentukan untuk mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan dan kesehatan.
Lebih lanjut ditegaskan, Indonesia menghadapi masalah gizi yang cukup memprihatinkan, karena berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2000, 75% dari total kabupaten di Indonesia berada dalam kondisi masalah gizi pada balita diatas 20%.
Sedangkan jumlah penderita gizi buruk pada anak Balita semenjak tahun 1989 sampai dengan tahun 2000 tidak terjadi perubahan. Pada tahun 1989 dengan total penduduk 177.614.965 orang, kasus gizi buruk pada Balita adalah 1.342.796 anak. Sedangkan pada tahun 2000 dengan total penduduk 203.456.005 orang, kasus gizi buruk pada Balita adalah 1.348.181 anak.
Masalah gizi juga diderita Wanita Usia Subur (WUS) dan remaja perempuan menderita kurang energi kronik (KEK) yang menandakan kekurangan zat-zat gizi berupa karbohidrat dan protein mengakibatkan seperlima WUS mempunyai Lingkar Lengan kurang dan 23,5 cm yang berpotensi melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR) atau kurang dan 2.500 gram dengan prevalensi sekitar 7-14% dan angka ini selama 10 tahun terakhir tidak mengalami perubahan. Sebanyak 24% anak Balita menderita gizi kurang yang berarti berat badannya tidak sesuai dengan umurnya dan 36% anak usia sekolah niempunyai tubuh pendek.
Menurut Dr. Rachmi Untoro, untuk memperbaiki gangguan pertumbuhan anak Balita, tidak bisa dilakukan Departemen Kesehatan saja, melainkan harus ditangani berbagai pihak utamanya dimulai dari tingkat bawah yakni menurunkan kemiskinan, pendidikan, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja.
Prof. Soekirman, Ph.D, Steering Committee Seminar dan pakar Gizi senior dari IPB menambahkan selama ini para pakar ekonomi mengukur kemiskinan dari pendapatan perkapita atau pemilikan harta. Sejak tahun 1970-an para pakar gizi dunia mengembangkan indikator kemiskinan dengan mengukur gangguan pertumbuhan berat badan anak balita.
Pada Millenium Goals 2000 para pemimpin dunia sepakat untuk mengurangi separo proporsi orang miskin pada tahun 2015. Dalam kesepakatan itu proporsi anak balita yang kurang gizi atau berat badan rendah ditetapkan sebagai salah satu indikator kesehatan.
Kemiskinan, kata Prof. Soekirman berkaitan dengan kurang gizi yang dicerminkan adanya gangguan pertumbuhan fisik anak balita. Kemiskinan dapat merupakan penyebab terjadinya kurang gizi, tetapi kemiskinan juga dapat terjadi sebagai akibat dari kurang gizi.
Sementara itu Prof. Dr. Tonny Sadjimin, Ketua Organizing Committee menegaskan untuk membahas kesepakatan Millenium Development Goals 2000 para pakar gizi, kesehatan anak, kesehatan masyarakat dari berbagai negara menghadiri seminar tetang pertumbuhan anak dan kemiskinan di Jakarta tanggal 11-13 November 2002. Seminar diselenggarakan oleh UGM bekerjasama dengan Depkes, UNICEF dan Bank Dunia.
Menurut Prof. Tony Sadjimin, dipilihnya Indonesia sebagai tempat seminar antara lain karena Indonesia merupakan salah satu negara yang mempelopori program pemantauan pertumbuhan anak dengan memperkenalkan Kartu Menuju Sehat (KMS) di Posyandu. Program ini berlangsung sejak tahun 1970-an hampir di semua desa di Indonesia.
Kegiatan Posyandu yang berbasis masyarakat desa pada tahun 1980-an diakui keberhasilannya oleh dunia dalam melindungi dan mencegah anak balita menderita kurang gizi, gangguan pertumbuhan fisik dan mental. Namun sayang sejak tahun 1990-an Posyandu kehilangan pamornya karena merosotnya mutu kader dan pelayanannya. Padahal Posyandu dan KMS-nya telah diadopsi menjadi model di beberapa negara Amerika Latin dan berhasil baik.
Demikian penjelasan Dr. Rachmi Untoro, MPH Direktur Gizi Masyarakat Ditjen Bina Kesmas Depkes kepada wartawan usai penutupan Seminar Internasional tentang Pertumbuhan Anak dan Kemiskinan di Jakarta tanggal 13 November 2002.
Dr. Rachmi Untoro menambahkan secara anatomis otak berkembang baik pada usia 2 tahun pertama memperoleh asupan gizi secara baik, tetapi jika pada asupan gizinya kurang maka perkembangan otaknya tidak berkembang atau biasa dikenal dengan otak kosong. Untuk memantau tumbuh kembang anak Balita harus dilakukan orang tua dengan membawa anak Balita ke Posyandu terdekat setiap bulan. Selain itu pemantauan juga harus dilakukan oleh kader, tokoh masyarakat dan di era desentralisasi adalah Pemda dan DPRD sangat menentukan untuk mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan dan kesehatan.
Lebih lanjut ditegaskan, Indonesia menghadapi masalah gizi yang cukup memprihatinkan, karena berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2000, 75% dari total kabupaten di Indonesia berada dalam kondisi masalah gizi pada balita diatas 20%.
Sedangkan jumlah penderita gizi buruk pada anak Balita semenjak tahun 1989 sampai dengan tahun 2000 tidak terjadi perubahan. Pada tahun 1989 dengan total penduduk 177.614.965 orang, kasus gizi buruk pada Balita adalah 1.342.796 anak. Sedangkan pada tahun 2000 dengan total penduduk 203.456.005 orang, kasus gizi buruk pada Balita adalah 1.348.181 anak.
Masalah gizi juga diderita Wanita Usia Subur (WUS) dan remaja perempuan menderita kurang energi kronik (KEK) yang menandakan kekurangan zat-zat gizi berupa karbohidrat dan protein mengakibatkan seperlima WUS mempunyai Lingkar Lengan kurang dan 23,5 cm yang berpotensi melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR) atau kurang dan 2.500 gram dengan prevalensi sekitar 7-14% dan angka ini selama 10 tahun terakhir tidak mengalami perubahan. Sebanyak 24% anak Balita menderita gizi kurang yang berarti berat badannya tidak sesuai dengan umurnya dan 36% anak usia sekolah niempunyai tubuh pendek.
Menurut Dr. Rachmi Untoro, untuk memperbaiki gangguan pertumbuhan anak Balita, tidak bisa dilakukan Departemen Kesehatan saja, melainkan harus ditangani berbagai pihak utamanya dimulai dari tingkat bawah yakni menurunkan kemiskinan, pendidikan, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja.
Prof. Soekirman, Ph.D, Steering Committee Seminar dan pakar Gizi senior dari IPB menambahkan selama ini para pakar ekonomi mengukur kemiskinan dari pendapatan perkapita atau pemilikan harta. Sejak tahun 1970-an para pakar gizi dunia mengembangkan indikator kemiskinan dengan mengukur gangguan pertumbuhan berat badan anak balita.
Pada Millenium Goals 2000 para pemimpin dunia sepakat untuk mengurangi separo proporsi orang miskin pada tahun 2015. Dalam kesepakatan itu proporsi anak balita yang kurang gizi atau berat badan rendah ditetapkan sebagai salah satu indikator kesehatan.
Kemiskinan, kata Prof. Soekirman berkaitan dengan kurang gizi yang dicerminkan adanya gangguan pertumbuhan fisik anak balita. Kemiskinan dapat merupakan penyebab terjadinya kurang gizi, tetapi kemiskinan juga dapat terjadi sebagai akibat dari kurang gizi.
Sementara itu Prof. Dr. Tonny Sadjimin, Ketua Organizing Committee menegaskan untuk membahas kesepakatan Millenium Development Goals 2000 para pakar gizi, kesehatan anak, kesehatan masyarakat dari berbagai negara menghadiri seminar tetang pertumbuhan anak dan kemiskinan di Jakarta tanggal 11-13 November 2002. Seminar diselenggarakan oleh UGM bekerjasama dengan Depkes, UNICEF dan Bank Dunia.
Menurut Prof. Tony Sadjimin, dipilihnya Indonesia sebagai tempat seminar antara lain karena Indonesia merupakan salah satu negara yang mempelopori program pemantauan pertumbuhan anak dengan memperkenalkan Kartu Menuju Sehat (KMS) di Posyandu. Program ini berlangsung sejak tahun 1970-an hampir di semua desa di Indonesia.
Kegiatan Posyandu yang berbasis masyarakat desa pada tahun 1980-an diakui keberhasilannya oleh dunia dalam melindungi dan mencegah anak balita menderita kurang gizi, gangguan pertumbuhan fisik dan mental. Namun sayang sejak tahun 1990-an Posyandu kehilangan pamornya karena merosotnya mutu kader dan pelayanannya. Padahal Posyandu dan KMS-nya telah diadopsi menjadi model di beberapa negara Amerika Latin dan berhasil baik.
No comments:
Post a Comment